Mengenal Sifat Allah Yang Benar

Sifat Allah yang penuh kasih merupakan hal yang sangat indah, karena sifat itu menjadi dasar pengharapan bagi setiap manusia untuk mendapatkan anugerah keselamatan (grace) dan pemulihan. Dalam penginjilan pun, kita seringkali mengabarkan tentang sifat Allah yang penuh kemurahan dan kasih. Dasar pemahaman Teologi (Theological premise) mengajarkan bahwa memang Allah kita adalah kasih, tapi kita harus mengerti bahwa “kasih Allah” (God’s grace) bukan satu-satunya sifat Allah. Adalah berbahaya jika kita hanya mengajarkan tentang sifat Allah yang penuh dengan kasih dan anugerah, tanpa dilengkapi dan diimbangi dengan pengajaran tentang sifat Allah yang lain, seperti disiplin dan kekudusan.

 

Pengajaran yang tidak berimbang akan berakibat pada pemahaman tentang kasih Allah yang kebablasan sehingga akan menghasilkan implikasi dan aplikasi yang salah. Itu dikarenakan kita akan salah mengerti tentang pribadi Allah, seperti: Allah tidak akan marah apabila firman-Nya dilanggar; atau kita akan memandang Allah sebagai pribadi yang tidak memiliki sifat kekudusan, kebenaran, dan keadilan sehingga akan menciptakan pemahaman yang akan meremehkan akan pelanggaran dosa dan pertobatan. Itu adalah sikap umat Kristen yang sembarangan dan sembrono!!!

 

MENGENAL ALLAH LEWAT PERNYATAAN-NYA

Kita harus mengerti bahwa Allah memiliki sifat yang kompleks, tidak hanya kasih karunia. Allah memiliki sikap kasih, namun Ia juga tegas; Ia Maha Pengampun, tapi Ia juga pembalas kejahatan dengan adil. Dari mana kita dapat mengenal sifat-sifat Allah tersebut? Kita dapat mengenal-Nya dari pernyataan diri-Nya dan melalui perbuatan-perbuatan-Nya. Seorang teolog bernama Vriezen mengatakan bahwa perbuatan-perbuatan Allah adalah petunjuk simbolis tentang sifat-sifat-Nya.

Sekalipun mungkin ada dua sisi dalam sifat Allah yang terkesan bertentangan, namun jika hal tersebut dituliskan dalam Alkitab berarti kedua sifat itu benar. Kita tidak dapat membuang salah satu sifatnya dan mengedepankan sifat lainnya, karena kedua sifat Allah memiliki kemampuan untuk hadir bersamaan. Beberapa contoh sifat Allah berikut di bawah ini kelihatannya berlawanan dengan pengajaran yang hanya mengedepankan kasih dan anugerah:

 

  1. Kekuasaan Allah

Hari-hari ini ada pengajaran yang menekankan akan kebebasan manusia untuk melakukan segala sesuatu tanpa harus khawatir apakah tindakan tersebut dosa atau tidak. Mengapa demikian? Karena orang percaya telah ditebus oleh Kristus, itu artinya semua dosa orang percaya yang telah dilakukan atau akan dilakukannya sudah diselesaikan Kristus di kayu salib. Jika hanya dipandang dari sisi kasih karunia Allah, pengajaran ini tampak benar, tetapi pengajaran ini sangat tidak cocok dengan dengan sifat Allah yang lain seperti kekuasaan-Nya, yaitu kekuasaan untuk memberkati mereka yang taat atau menghukum mereka yang melakukan pelanggaran. ‘Kekuasaan’ disini termasuk kuasa atas setiap umat Kristen, namun jangan khawatir Allah tidak pernah melakukan perbuatan yang sewenang-wenang karena kuasa-Nya itu. Kuasa Allah juga bukan berarti akan membelenggu dan membebani kita dengan kewajiban-kewajiban yang memberatkan. Lebih dari itu, kesadaran akan kekuasaan Allah akan membawa umat Kristen dalam perlindungan dan pimpinan-Nya. Pandangan yang mengajarkan bahwa orang percaya boleh hidup sesukanya adalah menghina otoritas dan kekuasaan Allah.

 

Bagi orang percaya, kekuasaan Allah dapat menjadi sebagai berkat atau sebagai penghukuman, tentu ini tergantung pada respon kita kepada Allah. Sebagaimana Allah hebat dalam kesetiaan-Nya terhadap orang yang mengasihi-Nya (Mazmur 89:9), demikian juga murka-Nya amat dahsyat terhadap orang yang melawan-Nya (Mazmur 59:14; Ulangan 29:28). Konsep Allah yang cemburu juga berkaitan erat dengan kekuasaan Allah. Contohnya adalah dimana kecemburuan Allah menyala terhadap penyembahan berhala (Ulangan  32:16) juga terhadap penyelewengan perjanjian yang disengaja (Ulangan 29:20). Tetapi konsep kecemburuan tersebut juga menjadi jaminan akan perlindungan Allah kepada umat-Nya (II Raja-raja 19:31; Yesaya 26:11), ketakutan kita kepada penghukuman dan kecemburuan Allah akan membuat kita hidup dalam ketaatan, tapi sebaliknya, mereka yang tidak mengenal kedahsyatan Allah akan hidup sesuka hatinya. DR. Ludwig Koehler menyatakan bahwa takut akan Tuhan adalah sebuah wujud ketaatan.

 

  1. Kekudusan Allah

Allah senang akan kebaikan dan kebenaran (Yeremia 9:24), namun Allah juga membenci segala yang jahat, yaitu yang menajiskan nama-Nya yang kudus (Imamat 20:3). Kekudusan menjadi media/alat untuk  menjaga hubungan perjanjian Allah dengan umat-Nya. Pada saat Rasul Paulus mengambil beberapa bagian Hukum Taurat dalam pengajarannya. Rasul Paulus sedang mengajarkan moral kekudusan kepada umat percaya kala itu. Jika kita pelajari, Hukum Taurat itu terbagi menjadi 3 bagian, yaitu: moral, ibadah, dan sipil. Dalam mengajarkan moral, Hukum Taurat jelas sekali menekankan kekudusan Allah. Hukum Taurat menulis barangsiapa taat pada kekudusan Allah akan diberkati, tetapi barangsiapa melanggar kekudusan-Nya akan “hangus.” Hukum Taurat memang tidak kita lakukan lagi, tetapi ia bagaikan seorang guru yang membawa orang-orang kepada Kristus (Galatia 3:24). Melalui Hukum Taurat kita semakin mengerti betapa berbahayanya jika seseorang melanggar kekudusan Allah.

Sebagaimana kekuasaan Allah bisa menjadi berkat atau penghukuman, demikian juga kekudusan Allah dapat dialami orang percaya sebagai penghukuman (Yesaya 10:17) atau sebagai penyelamatan (Yesaya 43:3). Justru dengan kekudusan kita bisa melihat Tuhan; melihat-Nya dengan lengkap.

 

  1. Kebenaran Allah

Kebenaran Allah berhubungan erat dengan sifat keadilan atau keputusan-Nya yang didasarkan hukum. Keadilan Allah terlihat jelas dalam pemeliharaan perjanjian-Nya dengan umat-Nya. Allah menghendaki umat-Nya untuk lebih mengedepankan hidup dalam kebenaran ini daripada yang lainnya, bahkan lebih dari ritual sebuah ibadah (Amsal 5:24). Rasul Yohanes dalam penglihatan di pulau Patmos ‘melihat’ pengantin perempuan pada perjamuan Kawin Anak Domba akan mengenakan kain lenan halus yang merupakan perbuatan yang benar dari orang-orang kudus (Wahyu 19:8). Kebenaran dan Keadilan Allah menyatakan pemeliharaan, tetapi kita harus ingat bahwa kebenaran juga menyatakan dua hal yang lainnya, yaitu penghakiman Allah dan murka Allah. Pilihan tetap ada ditangan kita.

 

Allah kita adalah Hakim yang adil. Keadilan-Nya tidak hanya memutuskan hukuman, tetapi Ia juga mengumpulkan bukti-bukti dan bekerja secara kreatif dalam melaksanakan keputusan. Ia tidak semena-mena dalam bertindak, tetapi Ia juga tidak akan mengabaikan ketidaktaatan sekecil apapun. Penghakiman Allah bersifat memulihkan bagi mereka yang taat; sekalipun dalam penghukuman-Nya Allah selalu menyertakan kemurahan dan anugerah-Nya (Yesaya 30:18) namun bila kehendak-Nya ditentang secara terus menerus maka murka Allah akan bangkit. Murka Allah bukan sebuah proses yang tak dapat dihindarkan atau spontan, sedapat mungkin Allah menahan atau memperlambatnya dengan kemurahan-Nya, itulah kasih karunia-Nya yang ajaib. Tapi jika manusia menjadi bebal dan tetap tidak mau taat dan bertobat maka murka Allah merupakan kebijakan terakhir-Nya untuk menghadapi para penentangan-Nya.

 

Seperti yang telah kita lihat, sifat Kekuasaan, Kekudusan, Kebenaran, dan Keadilan-Nya saling berkaitan erat. Sifat-sifat Allah tersebut menjadi seperti kepingan-kepingan puzzle yang harus secara lengkap tersusun untuk penyingkapan Allah. Satu keping puzzle tanpa keping yang lainnya tidaklah berguna. Mengenal kasih Allah tanpa mengenal sifat-sifat yang lainnya tidaklah berguna dan berbahaya.

 

Kemurahan seringkali dikaitkan dengan kelemahan atau sikap pasrah, namun dengan latar belakang sifat-sifat Allah yang tersebut di atas; kita tidak dapat berkata demikian lagi. Kemurahan merujuk pada kesetiaan Allah kepada perjanjian yang ditetapkan-Nya (Kejadian 32:10). Kemurahan mendahului adanya perjanjian tersebut, sehingga kemurahan pun akan bertahan lebih lama daripada perjanjian itu sendiri (Mazmur 136). Menurut DR. Koehler, kemurahan dalam perjanjian berkembang ke arah pertanggung-jawaban antara mereka yang memiliki hubungan. Artinya umat yang menerima kemurahan (kasih karunia) memiliki tanggung jawab untuk memelihara perjanjian dengan Allah.

 

KESIMPULAN

Kasih karunia Allah dan disiplin-Nya bagaikan dua sisi dari sebuah koin. Kedua hal tersebut tidak mengurangi nilai satu sama lain, justru menjadi dasar yang menguatkan satu dengan lainnya. Allah bukanlah Hakim yang semata-mata menghukum langsung setiap anak-Nya yang bersalah, Ia berusaha mencari jalan untuk membawa anak-Nya pada pemulihan, walau pada akhirnya Ia tetap Allah yang adil.  Ada titik final ketika seseorang tidak berbalik kepada-Nya, manusia itu  akan menghadapi murka Allah. (JR)

 

Quote:

Kehendak bebas manusia adalah mahkota kemuliaan dari Allah.

Kehendak bebas senantiasa berada

dalam prinsip-prinsip kebenaran Allah.

Kehendak bebas bukan berarti boleh melakukan segala sesuatu yang kita inginkan.